"Surat ini adalah surat yang ditulis oleh Pangeran Ahmad
Syafe'i gelar Sultan Ratu Pikoeloen pada tahun 1959 untuk menjelaskan perihal keadaan di
negeri semangka pada saat terjadinya perpindahan rakyat ke Semangka.
Surat ini juga menunjukkan akan upaya dari Pangeran Ahmad Syafe'i dalam
membenahi kacaunya adat yang sedang terjadi pada masa itu. "
KEADAAN ADAT DI NEGERI SEMANGKA (EX MARGA NGARIP) YANG BERASAL DARI MARGA BUAY BELUNGUH (KENALI)
Sebagian
besar orang-orang yang berasal dari Suwoh pindah ke Semangka ini
terjadinya jauh sebelum gempa bumi besar ditahun 1933 dan sebagian lagi
terpaksa pindah pula meninggalkan Suwoh sewaktu gempa bumi tersebut
(peletusan bukit bata).
Zaman
dahulu dataran Suwoh sebagian yang penduduknya berasal dari marga Buay
Belunguh Kenali, baikpun adatnya maupun pemerintahannya termasuk dalam
lingkungan marga Buay Belunguh Kenali dan sebagian pula yang berasal
dari marga Buay Pernong/Kenyangan Batu Brak termasuk dalam lingkungan merga Buay Kenyangan Batu Brak.
Dibagian
marga Buay Belunguh penduduknya berasal dari orang-orang pindahan dari
kampung-kampung disekitar kampung Kenali seperti : Sukadana, Surabaya,
dll. mereka berkembang biak didaerah Suwoh dan setelah dijumlahnya cukup
banyak, masing-masing membentuk kesukuan-kesukuan adat dengan
persetujuan suku asalnya di Kenali, serta diakui pula oleh Kepala Adat
Besar (Saibatin).
Demikianlah
pada masing-masing kampung seperti : Kejadian, Way Kunjir, Bandar,
terdiri 2-3 suku yang satu dengan lainnya mempunyai kedudukan dan hak
yang sama dan langsung bertakluk pada suku asalnya di Kenali.
Beberapa
lama kemudian, untuk mengawasi kesemuanya suku-suku ini ditunjuk oleh
Saibatin satu dari suku-suku yang ada yaitu suku Way Kunjir dengan
diberi gelaran Dalom selaku wakil Saibatin di Suwoh. Keadaan berjalan
baik dan segala yang diatur oleh perwakilan itu dipatuhi oleh suku-suku
yang lain. Setelah daerah ini berdiri selaku marga (penyatuan
kampung-kampung berasal dari marga Buay Belunguh dan marga Buay
Kenyangan dan seorang dari kampung Negeri). (Pihak Buay Kenyangan)
terpilih selaku Pasirah dengan kekuasaan penuh selaku Kepala
Adat/Saibatin , maka dengan sendirinya ia tak mengakui adanya perwakilan
dimarganya. Hal ini dapat dimengerti, sebab dengan berdirinya marga itu
berarti berdirinya kesatuan hukum adat didalam daerah yang meliputi
watas marga itu.
Maka dengan
secara otomatis pula Perwakilan Saibatin di Suwoh itu tidak memiliki
arti lagi. Kemudian setelah marga Suwoh bubar (beberapa bulan sebelum
terjadi gempa tahun 1933) berhubung Pasirahnya (Mat Amin) diberhentikan
Pemerintah Belanda dari jabatannya. Terlebih pula karena banyaknya
penduduk yang telah pindah kedaerah Semangka, maka kampung-kampung yang
dahulunya takluk pada marga Buay Belunguh kembali lagi seperti dahulu,
dan kampung-kampung yang dahulunya bertakluk pada marga Buay Kenyangan
kembali masuk menjadi wilayah marga Buay Kenyangan.
Waktu
itu tinggal terdapat 2 suku adat di Suwoh bagian marga Buay Belunguh,
yaitu : suku Gajah Minga di Kejadian dan Suku Mat
Amin/Masbuna/Syarifuddin di Way Kunjir ; jadi diantara beberapa banyak
suku-suku yang ada di Suwoh, kedua suku inilah yang terpatuh terhadap
kedudukannya menunggu tanah Suwoh, tetapi setelah terjadinya gempa bumi
1933 (peletusan Bukit Bata di Suwoh), mereka terpaksa meninggalkan Suwoh
menyusul suku-suku yang lain pindah kedaerah Semangka.
Di
semangka mereka tinggal berpencaran satu suku dengan suku lainnya.
Bahkan di satu sukupun tempatnya tidak dapat berkumpul, berhubung telah
sulitnya mendapatkan tanah-tanah ; mereka mendirikan tempat kediaman
mereka diantara beberapa suku-suku yang lain, yaitu : suku Jawa yang
disebut Kolonis, suku Semangka asli, suku Negara Batin, dan suku Suwoh
bagian Buay Kenyangan yang juga telah pindah kedaerah ini.
Oleh
sebab sulitnya hubungan Saibatin di Kenali dengan suku-sukunya di
Semangka, maka disinipun dibentuk pula seorang perwakilan untuk
mengawasi semua suku-suku yang berasal dari marga Buay Belunguh yaitu
suku Abd. Hakim di Bandar Kejadian pada tahun 1939 dan diberi gelaran
Dalom. Sayang sekali pekerjaannya gagal, karena tidak dipatuhi oleh
suku-suku lain melainkan dia hanya dapat pengindahan didalam sukunya
sendiri.
Waktu itu keadaan suku-suku di Semangka
seakan-akan tidak mempunyai pedoman lagi, jauh dari pmpinan (kontrol)
Saibatinnya di Kenali., terombang-ambing hidup diantara adat lain
seperti suku Semangka, Jawa, dan Negara Batin, serta suku Suwoh yang
berasal dari marga Buay Kenyangan. Akhirnya adat yang yang dipaksipun
menjadi campur aduk dan tatkala mereka membandingkan dengan adat
Semangka asli yang masih kuat dipegang keasliannya oleh
pengikut-pengikutnya, maka mereka menganggap bahwa susunan adat Semangka
asli yang terbaik. Mereka lupa bahwa orang-orang Semangka asli itupun
berasal dari Sekala Brak juga. Demikianlah masuknya suku Musin Bandar
Sukabumi kedalam adat Semangka Asli bagian Padangratu. Apapula ianya
agak merasa merajuk pada rakyat dikampungnya sebab ia tidak terpilih
selaku kepala kampung.
Mendengar
ini, kami Saibatin di Kenali merasa gelisah, khawatir suku-suku yang
lain akan masuk adat Semangka Asli pula dan mengizinkan adik kandung
kami nama Basri untuk dikawinkan dengan anak perempuan Raja Intan yang
mengepalai suku Lamban Gajah Minga di Semangka, dengan memberinya tugas
sebagai perwakilan dengan diberi gelaran Dalom. Dari pihak kami Saibatin
berkeyakinan, kalau adik kandung sendiri yang ditugaskan selaku
perwakilan, tentu akan dipatuhi oleh suku-suku di Semangka yang berasal
dari marga Buay Belunguh.
Karena
telah parahnya ketidakpatuhan pada adat, maka kedatangannya ke Semangka
itu dianggap sepi saja oleh suku-suku yang lain, bahkan karena telah
ada 3 orang yang mengepalai suku-suku diangkat gelarannya dengan Dalom
(1. Dalom Raja Inten Way Kunjir selaku perwakilan waktu masih di suwoh,
2. Abd. Hakim selaku Perwakilan yang usahanya telah gagal di di Bandar
Kejadian, dan 3. Adik saya nama Basri yang baru ditunjuk selaku
perwakilan jugalah dapat menggelarkan dirinya Dalom serta
tuturan-tuturan dan alat kebesaran yang berhubungan dengan gelaran itu,
padahal gelaran tersebut hanya dapat dipakai oleh Kepala Adat Besar
(Saibatin) saja atau bagi seseorang yang ditunjuknya selaku perwakilan.
Dalam
tempo yang singkat kita melihat seperti cendawan tumbuh di musim hujan
banyaknya yang menggelarkan dirinya Dalom, Suttan, bahkan Pangeran;
begitu pula tuturan -tuturan larangan seperti : Pun, Ratu, Bapak Dalom,
Ina Dalom, Nakan Dalom, Saibatin, dll. Kita dengar disegala pelosok,
dimana saja orang yang berasal dari suwoh membentuk Kesukuan Adat.
Mereka
telah berani menggelarkan dirinya Dalom, Saibatin, dll. Kalau saja
mereka telah mempunyai 4-5 buah rumah sebawahannya, padahal ditempatkan
asal dari sekian puluh ribu jiwa, dari sekian ribu rumah, dari sekian
puluh Raja dan Batin, dari sekian ratus Raden, Minak, Mas, dan Kimas,
hanya ada seorang Dalom, Sutan atau Saibatin saja.
Orang-orang
Semangka asli, suku Jawa, dan suku Negara Batin (Bah. Liwa) yang
mempunyai adat tersendiri,meskipun tidak terang-terangan tetapi didalam
hati mereka mengejek, mencemoohkan adanya inflasi gelaran ini; mereka
menganggap nilai Saibatin Suwoh ini jauh lebih rendah dari Saibatin Asli
Semangka atau Negara Batin
Betapa
tidak, dapatkah seorang Dalom dari Suwoh yang hanya mempunyai anak buah
5 orang saja, memperlihatkan kebesarannya dalam suatu upacara berarak
yang menghendaki berpuluh-puluh orang pemegang alat kebesarannya, belum
lagi tentang cara susunan panggung orang besar-besar sebawahannya
menghendaki orang-orang yang betul-betul kuat dalam segala-galanya dalam
jumlah yang berbilang (banyak).
Keadaan disini
telah demikian rupa, hingga tidak mungkin dapat diatur oleh seorang
perwakilan lagi kecuali oleh Saibatin sendiri.
Kebetulan
pada akhir tahun 1957, saya (Saibatin) dipindahkan selaku sistem Wedana
kedaerah Semangka ini, tetapi selama 2 tahun tidak ada kesempatan yang
baik untuk membicarakan soal-soal yang yang berkenaan dengan adat,
barulah tanggal 12 ke 13 Oktober 1959 tatkala merayakan anak menantu
saya (Ratu muda) untuk pertama kalinya berkunjung ke Bandar Kejadian,
Suatu kesempatan baik untuk memperbaiki kembali adat Lampung yang sudah
agak kabur itu. Tetapi dengan sekali gas tentu usaha itu tidak akan
dapat berhasil. Berhubung masing-masing yang mengepalai suku telah
terlanjur menaikkan gelaran-gelarannya hingga akan menjadikan kekacauan
bahkan penghinaan yang besar bagi mereka, satu-satunya jalan yaitu
meletakkan fundament adat, membentuk pangkat-panggung suku-suku adat
terhadap Saibatinnya, karena jika telah terbentuk berarti :
- a. Dengan sendirinya mereka mengakui masih bertakluk dalam adat dengan Saibatinnya di Kenali.
- b. Kalau selama ini masih samar-samar adanya suku itu, maka sekarang telah mendapat pengakuan sah dari Saibatin
- c. Setiap suku-suku yang mendapat kedudukan dalam pangkat-panggung adat Saibatin itu, berarti mengaku adanya suku lain yang juga telah mempunyai kedudukan dalam bentuk adat Saibatin
- d. Tidak akan terjadi lagi perlombaan-perlombaan merebut kedudukan keturunan yang tertua, sebab keadaannya dengan sendirinya telah dinyatakan oleh kedudukan dalam adat Saibatin
- e. Lambat laun mereka akan insyaf bahwa gelaran-gelaran, tutur-tutur, dll yang berlebih-lebihan itu memang tidak sesuai dengan kedudukannya dalam Adat Saibatin setelah mereka menyelidiki sendiri kedudukan- kedudukan itu ditempat asal
- f. Mengeratkan persatuan dan perhubungan batin diantara suku-suku yang telah terhimpun didala Adat Saibatin itu
- g. Masing-masing mempunyai warisan alat dari Saibatin ditempat asalnya, sebab bukanlah berupakan pedang, tombak, dll yang sebenarnya dihadiahkan dari Kenali itu, tetapi kedudukannya misalnya : Pemegang tombak, terapang, dls
Cara yang
sebaik-baiknya,menetapkan pangkat-panggung suku-suku itu supaya tidak
menyimpang dari semestinya, yaitu kalau misalnya sesuatu suku disini
berasal dari suku Ralip Tanjung ditempat asal Kenali, sedangkan Ralip
tersebut kedudukannya dalam Saibatin selaku anak Metuha pemegang
terapang dan dalam perhelatan berjalan dimuka, maka suku yang berasal
dari keturunan Ralip itu (di Semangka) patut ditetapkan pula selaku anak
Metuha pemegang terapang dan berjalan dimuka ; demikian pula lah halnya
dengan suku-suku lainnya didudukkan pada tempat kedudukan asalnya di
Kenali. Tetapi sulitnya, kalau ada sesuatu kedudukan yang harus diisi,
sedangkan orangnya belum layak berbentuk suku didaerah ini, sehingga
tidak ada jalan lain daripada menunjuk/mengangkat saja suku-suku yang
layak untuk itu.
Lantas saya susun rencana yang akan diajukan dalam rapat adat bersama sebagai berikut :
A.
2 (dua) orang suku Marga Pemegang Tombak ; yang ditempat asal dipegang
oleh Raja Persi luas dan Mat Ali/Raja Kutanegara Way Turgak, sedangkan
didaerah Semangka ini, tidak ada diantara suku-suku adat yang berasal dari kedua kampung tersebut, maka patut ditunjuk dan ditetapkan saja :
1. Lamban Gajah Minga dengan alasan :
- Keturunannya langsung dari rumah gedung (rumah Saibatin) di Kenali.
- Paling terakhir pindah dari Suwoh yang berarti paling patuh menegakkan adatnya dengan Saibatin.
- Setelah di Semangka, adik kandung Saibatin nama Basri semendapada anak dari yang mengepalai suku itu pernah ditunjuk selaku perwakilan dengan diberi gelaran Dalom.
- Selamanya patuh pada adat sedangkan anak buahnya telah banyak.
2. Syarif Way Kunjir, dengan alasan :
- Keturunannya lengsung dari rumah Gedung di Kenali.
- Keturunannya pernah didudukkan selaku Perwakilan di Suwoh.
- Sampai sekarang patuh pada Saibatinnya.
- Waktu menjadi perwakilan di Suwoh telah diberikan gelaran Dalom.
B.
2 (dua) orang Penggawa pemegang tombak yang ditempat asal dipegang oleh
: a. Abd. Latif Pagar. b. Mat Satar Kedamaian (di Semangka tidak ada
suku yang berasal dari kedua suku tersebut), maka patut
ditunjuk/ditetapkan : Syarifuddin Bandar, dengan alasan :
- Kepindahan orang tuanya dari Suwoh paling akhir (bersamaan dengan Lamban Gajah Minga) berarti terpatuh pada adatnya dengan Saibatin di Kenali.
- Meskipun telah pindah ke Semangka, tetapi dalam adat tetap mempunyai hubungan dengan Saibatin hingga pada tahun dia-nya diberi gelaran Dalom oleh Saibatin.
C.
Seorang anak Metuha, pemegang Terapang dimuka (berjalan dimuka),
ditempat asal dipegang oleh Mat Ralip Tanjung, dan oleh sebab disini
(Bandar kejadian) Suku Pakuon berasal dari suku Ralip Tanjung tersebut,
maka ditetapkan suku itulah yang berkedudukan selaku anak metuha
pemegang Terapang dan berjalan dimuka.
D. 4 (empat) orang Pakusara pemegang pedang di Kenali dipegang oleh :
- Umar Negeri Canda
- Rozali serungkuk
- Mail Gunung Kemala
- Jais Tanjung
karena di Semangka tidak ada keturunan dari keempat Kampung tersebut, maka patut ditunjuk/ditetapkan :
- a. Hasbi Kenyangan, dengan alasan dia adalah keturunan Raja Intan Banjar Negeri dalam rumah Saibatin di Kenali yang ditempat asalnya memang telah mempunyai kedudukan dalam adat yang baik.
- b. Mat Bekeri Kenyangan, berasal dari Baru dan telah sejak beberapa puluh tahun berkembang biak di Semangka, sehingga telah mempunyai banyak orang dan tetap patuh pada adatnya di Kenali (tidak masuk adat lain).
E.
2 (dua) orang besar dalam rumah Saibatin, pemegang payung agung di
Kenali dipegang oleh : 1. Ralip Surabaya, 2. Marzuki Sukadana dan untuk
di semangka ini perlu ditetapkan :
- Abdulrahman, kepala kampung bandar Kejadian dengan alasan dia adalah keturunan dari Ralip Surabaya.
- Zainul bandar Sukabumi dan Mursalin Belu, dengan alasan mereka itu mempunyai keturunan dari Sukadana.
F. 3 orang Hulubalang di kenali dipegang oleh :
- Mat Bekeri Kenali
- Taip Hujung yang kedua-duanya memakai baju besi
- Sam Negeri Canda pemegang tongkat
Meskipun
didaerah Semangka ini terdapat 10 suku, tetapi hanya 9 suku saja yang
diberi kedudukan dalam adat Saibatin, berhubung suku Abd. hakim (anaknya
nama Sefian) kurang senang kalau tidak diberi kedudukan selaku
perwakilan, sedangkan kenyataannya selain dari sukunya sendiri, tidak
ada suku lain yang mematuhinya, apalagi karena Saibatinnya sendiri
sekarang telah berada di Semangka, maka dengan sendirinya tidak ada lagi
yang merupakan perwakilan didaerah ini, melainkan semua suku-suku
langsung dibawah pengawasan/pimpinan Saibatin. Selain dari itu,
berhubung pengakuannya berasal dari rumah Bandung di Kenali, sedangkan
kedudukan rumah Bandung itu tidak terdapat dalam susunan adat Saibatin,
tetapi sewaktu mengadakan permufakatan diantara suku-suku bertempat di
Bandar Kejadian pada tanggal 12 ke 13 Oktober 1959 ia diberi juga
kedudukan selaku orang besar dlam rumah Saibatin (pemegang payung agung)
dan kedudukannya itu telah diterimanya, tetapi kemudian yaitu keesokan
harinya ia menolak, maka suku Abd. Hakim/Sefian tersebut sengaja
dikeluarkan dari susunan pangkat panggung adat Saibatin.
Semua
rencana tersebut diatas telah disidangkan dan dimufakatkan oleh
suku-suku yang berasal dari marga Buay Belunguh dengan semasak-masaknya
dan telah dipandang dari beberapa jurusan dan segi dalam suatu rapat
adat di Lamban Gajah Minga bandar Kejadian dengan dipimpin langsung oleh
saya Saibatin dan kesana hadirin telah bersetuju, mufakat-mufakat.
Terlebih pula sewaktu di Semangka dan badan pemerintah yang lainnya. Tak
ketinggalan dihadiri oleh Wedana dari Ketuagung. (Lihat keterangan
bersama terlampir)
Mudah-mudahan
dengan adanya susunan ini akan menambahkan pengertian yang lebih luas
terhadap kepala-kepala adat (suku) didaerah ini, serta tetap menjaga
kebesaran anak buahnya masing-masing dan persatuan yang lebih rapat
dengan suku-suku yang lain guna menciptakan
perdamaian,kerukunan,keadilan dan kemakmuran.
Tanjungkarang, 20 Oktober 1959
Sai Batin (RajaAdat)
Buay Belunguh
Ahmad Syafe'i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar